Memahami Makna Budaya Akademik Dalam Islam

Desember 09, 2016

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.
Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan qalam.
Dia mengajarkan manusia terhadap hal-hal yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq)

Para ulama sepakat mengatakan bahwa surat al-‘Alaq ayat 1-5 di atas adalah ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW. Iqra’ yang berarti “bacalah” (perintah membaca) sebagai kata pertama dalam rentetan ayat ini menggambarkan betapa Islam memberikan perhatian yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan, dan membaca merupakan cara terpenting dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Pertanyaannya kemudian adalah “apa yang harus dibaca?” 

Para ulama mengatakan bahwa yang harus dibaca adalah segala sesuatu yang bisa atau memungkinkan untuk dibaca. Segala yang terdapat di alam ini adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang lazim disebut ayat-ayat Allah. 

Oleh karena itu yang harus dibaca adalah ayat-ayat Allah. Ayat-ayat Allah dapat dibagi pada dua kategori, pertama ayat qauliyah yang berarti al-Quran dan kedua ayat kauniyah yang berarti alam semesta. 

Kejelasan tentang apa yang mesti dibaca melahirkan pertanyaan selanjutnya, “bagaimana cara membacanya?”. Tegas Allah mengatakan bahwa pembacaan terhadap hal-hal di atas harus dilakukan dengan orientasi ketuhanan (bi ism rabbik) artinya semuanya dilakukan dalam bingkai untuk mendekatkan diri pada Allah. 

Hal ini berhubungan erat dengan tujuan diciptakannya manusia oleh Allah yaitu untuk menyembah-Nya (beribadah) sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Zariyat 56. 

Perintah untuk membaca pada ayat yang pertama tersebut diiringi oleh hampir 800 ayat selanjutnya (khususnya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan) menjadi pondasi ilmiah bagi kaum muslimin sehingga lahirlah budaya akademik/keilmuan yang berjasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan dunia. Al-Kindi, al-Farabi, ibn Sina, ibn Bajah, ibn Thufail, ibn Rusyd, al-Ghazali, al-Thusi, al-Khawarizmi, al-Razi, al-Jabr, ibn Khaldun, dan banyak lainnya, merupakan tokoh-tokoh yang lahir dari tradisi ini, dan dengan observasi serta eksperimentasi yang dilakukan terhadap alam semesta semakin memperkokoh prinsip tauhid sebagai salah satu motor penggerak kemajuan.

Ulama dan ilmuan muslim masa lalu tidaklah mengenal istilah dikhotomi ilmu pengetahuan, ilmu agama vis a vis ilmu umum. Bagi mereka ilmu-ilmu tersebut pada prinsipnya sama dan bertujuan untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta. 

Oleh karena itu mereka selalu terpacu untuk menguasai kedua bidang tersebut. Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, di samping dikenal sebagai ahli-ahli agama (baca;Islam) yang otoritatif, juga dikenang antara lain karena kekuatan observasi dan kecenderungan eksperimental seperti yang terlihat dalam kajian-kajian ilmu alam dan kedokteran. 

Pencapaian yang diraih kaum muslimin masa lalu jauh lebih dulu dari yang dicapai Barat. Kemajuan yang dicapai Barat dewasa ini harus diakui tidak akan terealisasi tanpa kontribusi kaum muslimin. 

Banyak sekali ilmuan-ilmuan muslim yang dikenal di Barat, al-Farabi dikenal dengan al-Farabes, ibn Sina dikenal dengan avenciena, ibn Bajah dikenal dengan avempace, ibn Rusyd dikenal dengan averoes, dll. 

Sekarang dikhotomi ilmu pengetahuan telah diberlakukan. Para ulama bisasaja sangat ahli dalam ilmu-ilmu keislaman akan tetapi terkebelakang dalam hal sains dan tekhnologi. Akibatnya kajian-kajian agama yang disajikan para ulama tidak lagi menarik karena metodologi yang diketengahkan sudah ketinggalan zaman, minim sentuhan sains dan tekhnologi. 

Begitu juga sebaliknya, para ahli sains dan tekhnologi (saintis) larut dalam temuan-temuan mereka namun kering dari nilai-nilai spritual. Akibatnya temuan-temuan tersebut menjadi bebas nilai sehingga alih-alih membawa kemaslahatan, sebaliknya justru melahirkan kerusakan di atas bumi.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »