Loading...
Tampilkan postingan dengan label Edukasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Edukasi. Tampilkan semua postingan

Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

Agustus 01, 2017 Add Comment

I. PERBEDAAN KONSEP DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH

1.  Perbedaan Konsep

Ada yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan” dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai otonomi sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional pengendalian pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu mekanisme empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis. Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai interpretasi.
Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan Independence dari suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi publik bekerja sesuai dengan identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan tidak diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah satu strategi untuk menjaga integritas suatu lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari lembaga tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah secara tidak langsung menyandang pengakuan terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.
Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron, sebagai jumlah otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi (lihat Price and Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki dalam pengambilan keputusan maka semakin tinggi tingkat otonominya. Otonomi juga diinterpretasikan sebagai The Degree To Which and Organization Has Power With Respects to Its Environment (lihat Price and Mueller, 1986: 40). Dalam hal ini, dibedakan antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini diinterpretasikan sebagai “pengaruh” atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi daerah diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh suatu pemerintah daerah mengontrol kepada kegiatan pemenuhan kepentingan masyarakat lokal terlepas dari pengaruh lingkungannya. Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49) sebagai keadaan di mana masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri. Tentu saja makna ini didasarkan pada kata “auto” yang berarti diri sendiri dan “nomos” yang berarti aturan perundangan. Dengan makna ini otonomi daerah dapat diinterpretasikan sebagai kewenangan mengatur diri sendiri atau kemandirian.
Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan kita bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara adalah “negara kesatuan” namun di dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah), tersebut muncul semangat federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini ditemukan kewenangan yang mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa. Apabila dirinci kewenangan tersebut, di pusat terdapat 203 kewenangan, sementara di daerah (provinsi, kabupaten/kota) terdapat 991 kewenangan. Jadi, roh dari Undang-undang otonomi daerah ini membawa nilai ”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah. Hal ini sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan di Daerah. Kota di dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut mencerminkan kekuasaan ”desentralisasi” namun isinya adalah ”sentralisasi”.
Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik adalah negara yang didirikan dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-negara federal, sedangkan negara kesatuan didirikan dengan tersentralisasinya kekuasaan dan otoritas. Jika hal ini diterjemahkan dalam bahasa ilmu administrasi, negara federal lebih efisien dikelola secara terdesentralisasi dan negara kesatuan lebih efisien dikelola secara terpusat. UU No. 22 Tahun 1999 berisikan kebijakan yang mendesentralisasikan kekuasaan dan otoritas. Hal ini bertentangan dengan khitah negara kesatuan yang terlanjur kita anut.
Memang tidak ada salahnya atau sah-sah saja negara kesatuan dikelola dengan cara terdesentralisasi namun dengan risiko tidak efisien. Di sisi lain perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini agaknya menggunakan pendekatan metodologis yang bersifat elektrik dalam arti; mengumpulkan berbagai hal yang terbaik dan kemudian dari yang terbaik tersebut diambil komponen-komponen terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan kebijakan yang ada dan memilih yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit menjadi satu. Metode ini mempunyai kelemahan pokok yaitu tidak ada satu “platform” yang kuat dan dihasilkan ibarat campuran minyak dan air. Hal ini dapat dilihat pada inkonsistensi di antara pasal-pasal yang ada yang sangat berpengaruh pada manajerial, lihat UU No. 22 tahun 1999 Pasal 4    ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa antara masing-masing daerah termasuk antara provinsi dan kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten - kota (lihat Pasal 9). Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita melakukan koordinasi tanpa adanya hierarki? Kekuasaan dan otoritas bukanlah suatu yang begitu saja diberikan, apalagi kepada lembaga yang tidak berada di atasnya secara struktural. Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden RI mengontrol langsung hampir 400 daerah yang terdiri atas provinsi, kabupaten/kota. Belum lagi di Departemen dan lembaga-lembaga non-departemen. Ini suatu hal yang luar biasa. Rentang kendali (span of control) yang begitu luas, tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang Presiden yang notabenenya sebagai manusia biasa. Pendapat lain menyatakan, bahwa arsitek UU No. 22 Tahun 1999 itu adalah konsep berpikir ala Amerika yang hanya bisa diterapkan di negara Federasi seperti Amerika Serikat yang mengartikan desentralisasi sebagai devolution, padahal yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia itu adalah “desentralisasi dan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan”, di mana hubungan antara Pusat dan Daerah tetap terpelihara dengan baik, sedangkan otonomi daerah berjalan secara mandiri. Akan tetapi, Pasal 7 dan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan (1) “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan sudah berada di daerah sehingga tidak perlu penyerahan secara aktif, yang perlu dilakukan adalah pengakuan dari Pemerintah. Walaupun secara akademik teori penyerahan kewenangan itu menganut model General Competence atau Formele Huishoudingsleer, namun ditinjau dari aspek “kebijakan desentralisasi” rumusan penjelasan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 jelas-jelas merupakan reference Amerika yang hanya mungkin itu terjadi apabila diberlakukan di dalam Negara Kesatuan RI. Demikian pula, konsep “kesetaraan” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan “tiadanya hubungan hierarki” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Daerah Provinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan sistem dalam Negara Kesatuan RI menjadi terpotong-potong adalah juga suatu rujukan dari konsep “devolution” ala Negara Bagian dalam Negara Federal di Amerika Serikat yang tidak cocok untuk dirujuk ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kelemahan lainnya, yaitu dalam teknis implementasi kebijakan undang-undang otonomi daerah. Idealnya sebuah undang-undang dilaksanakan          5 (lima) tahun setelah diundangkan. Infrastrukturnya harus dibangun dan memerlukan waktu.
Malangnya UU No. 22 Tahun 1999 tersebut membatasi diri sendiri dengan membuat tenggat waktu (deadline), yaitu UU tersebut penerapan secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan. Presiden B. J. Habibie menandatangani UU ini pada tanggal 4 Mei 1999 maka pada tanggal 5 Mei 2001, undang-undang otonomi daerah tersebut berlaku resmi. Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar. Kementrian Otda dihilangkan. Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini tidak ada lagi (bubar), apalagi UU tersebut sifatnya sangat mendasar yang merombak seluruh tatanan Administrasi Publik sebuah negara besar. Lebih dari ratusan PP, pedoman dan sejenis lainnya belum dibuat untuk mendukung implementasi otonomi daerah. Oleh karena itu, tidak hanya pejabat level kabupaten/kota dan provinsi yang bingung, pejabat di level pusat pun demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak bijaksana kita mencari kambing hitam siapa yang bersalah, yang jelas kita belum siap. Oleh karena itu, otonomi daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan. Uraian tentang konsep otonomi di atas sangat variatif, seperti kebebasan dan kemerdekaan, strategi organisasi, otoritas mengurus diri sendiri, mengambil keputusan sendiri power untuk melakukan kontrol, empowerment, dan kemandirian dalam pengaturan diri. Variasi konsep ini menimbulkan interpretasi beragam. Oleh karena itu, di masa datang perlu kesepakatan tentang konsep otonomi daerah di kalangan elit politik sebagai pengambil keputusan atas kebijakan.

2. Perbedaan Paradigma

Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan. Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah.
Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah picik bagi para elit lokal pada daerah yang kaya sumber daya dengan menyandera masalah ekonomi ini untuk mencapai keinginan politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat melenceng dari hakikat otonomi itu sendiri.

B. KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI


Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic

C. LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT

Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.

D. KESALAHAN STRATEGI

UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
Jika dikaji UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi dalam sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke paradigma baru, yaitu dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural Efficiency Model” berubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya lebih cenderung kepada Local Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan yang memadai sampai saat ini, sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan daerah yang mampu menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara “otonomi sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri.Dalam hubungan ini, seperti dikatakan Moh. Hatta, bahwa “memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.


II. GOOD GOVERNANCE KUNCI MEWUJUDKAN OTONOMI DAERAH

Dalam pelaksanaan “otonomi daerah”, salah satu kelemahan yang dihadapi adalah standar penilaian kinerja pemerintahan, orientasi teoretis paradigmatis mengarah pada birokrasi klasik yang mengutamakan cara (means) daripada tujuan (ends). Seharusnya di era otonomi daerah ini orientasi kinerja pemerintahan mengikuti paradigma reinventing government atau post bureaucratic yang mengutamakan kinerja pada hasil akhir atau tujuan atau visi organisasi dan bukan pada mendanai input dan menjalankan proses (lihat Gaebler dan Osborne 1992). Pada saat ini tuntutan akan terselenggaranya good governance semakin mendesak untuk diakomodasikan dalam standar penilaian kinerja pemerintahan. Dalam rangka otonomi daerah nilai good governance dapat diketahui sebagai kunci utama karena nilai-nilai terkandung dalam menekankan.
1. Visi Strategis
Apakah Kabupaten/Kota memiliki visi, misi yang jelas.
2.  Transparansi
Apakah pemerintahan kabupaten/kota menyediakan informasi ke publik  secara terbuka sehingga publik dapat mempertanyakan mengapa suatu keputusan dibuat, apa kriteria yang digunakan sehingga masyarakat dapat melakukan kontrol, memonitor kinerja lembaga-lembaga publik.
3.  Responsivitas
Apakah pemerintah kabupaten atau kota dapat tanggap terhadap masalah, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat yang mereka layani.
4.  Keadilan
Apakah pemerintah kabupaten/kota telah memberikan semua orang kesempatan yang sama dalam meningkatkan atau memperbaiki kesejahteraannya.
5.  Konsensus
Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah berperan menjembatani aspirasi masyarakat guna mencapai persetujuan bersama demi kepentingan masyarakat.
6.  Efektivitas dan Efisiensi
Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah memenuhi kebutuhan masyarakat, dengan memanfaatkan sumber daya dengan cara yang baik atau melalui manajemen sektor publik yang efektif dan efisien.
7.  Akuntabilitas
Pemerintahan kabupaten atau kota harus bertanggung jawab kepada publik dalam konteks kinerja lembaga dan aparat yang baik dalam bidang manajemen, organisasi maupun dalam ”kebijakan publik”.
8.  Kebebasan berkumpul dan berpartisipasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota telah memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk berkumpul, berorganisasi dan berpartisipasi secara aktif dalam menentukan masa depannya.
9.  Penegakan Hukum
Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah menciptakan aturan dan menegakkan hukum yang membentuk situasi dan kondisi yang aman dan tertib serta kondusif bagi masyarakat.
10. Demokrasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota mendorong proses demokrasi di masyarakat.
11. Kerja sama dengan organisasi masyarakat
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota bekerja sama dengan lembaga-lembaga masyarakat yang ada dalam memecahkan masalah-masalah dan pelayanan kepada publik.
12. Komitmen pada pasar
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota mendorong kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pasar.
13. Komitmen pada lingkungan
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota memperhatikan masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.
14. Desentralisasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota telah mengembangkan dan membudayakan unit-unit kelembagaan lokal agar dapat mengambil kebijakan publik sesuai dengan kebutuhan dan situasi lokal.

Apabila nilai-nilai tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintahan Kabupaten atau kota maka otonomi daerah yang ideal dapat terwujud. Untuk dapat segera mewujudkan hal itu maka perlu adanya perubahan pola pikir sikap dan pola tindak para birokrat kita yang sudah lama bercokol dari orientasi birokrasi lama ke orientasi birokrasi baru seperti diungkapkan dalam good governance.

III. CAPACITY BUILDING SEBAGAI AKSELERATOR  GOOD GOVERNANCE  UTK MEWUJUDKAN DAERAH OTONOM

Langkah awal pemberian otonomi daerah yang harus dilakukan adalah capacity building sebagaimana direkomendasikan dalam rangka pembenahan pemerintah daerah Dengan Capacity Building ini dapat mempercepat terwujudnya good governance di era otonomi daerah

A. PENGERITAN CAPACITY BUILDING

Capacity Building untuk pemerintahan didefinisikan sebagai serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja pemerintahan, dengan memusatkan perhatian kepada pengembangan dimensi sumber daya manusia, penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan atau lingkungan. Dalam definisi ini capacity building terkandung upaya-upaya untuk melakukan perbaikan kualitas sumber daya manusia, mendorong organisasi agar berfungsi lebih baik, dan merubah konteks lingkungan yang dibutuhkan organisasi dan individu SDM agar dapat berfungsi dengan baik.
Berdasarkan pemahaman terhadap literatur tersebut maka untuk mewujudkan suatu otonomi  daerah  pada  saat  sekarang diperlukan persiapan yang berkenaan dengan (1) penentuan secara jelas visi dan misi daerah dan lembaga pemerintahan daerah, (2) perbaikan sistem kebijakan publik di daerah, (3) perbaikan struktur organisasi pemerintahan daerah,    (4) perbaikan kemampuan manajerial dan kepemimpinan pemerintahan daerah, (5) pengembangan sistem akuntabilitas internal dan eksternal pemerintahan daerah, (6) perbaikan budaya organisasi  pemerintahan  daerah, (7) peningkatan SDM aparat pemerintahan daerah, (8) pengembangan sistem jaringan (network) antarkabupaten dan kota, dan dengan pihak lain, dan      (9) pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan lingkungan pemerintahan daerah yang kondusif kesatuan dari sebuah sistem, yang kalau dibenahi yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Elemen-elemen ini menyangkut kemampuan pemerintahan daerah dalam penyediaan input (semua resources yang dibutuhkan), proses (penerapan teknik dan metode yang tepat), feedback (perbaikan input dan proses), dan lingkungan (penciptaan situasi dan kondisi yang kondusif).

B. ELEMEN-ELEMEN CAPACITY BUILDING

Pengembangan Visi dan Misi daerah dan Institusi Pemerintahan Kabupaten/Kota. Sampai sekarang belum ada kejelasan mengenai ke mana suatu kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi dikembangkan. Dengan kata lain, visi dan misi kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi belum terumuskan secara tegas dan jelas. Karena itu, bidang-bidang strategis apa yang dikembangkan oleh daerah dalam rangka mencapai visi tersebut juga tidak jelas. Untuk itu, diperlukan pada saat ini adalah pengembangan          (1) Rencana Strategis Daerah Kabupaten/Kota, dan (2) Rencana Strategis Institusi Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Pengembangan Kelembagaan Pemerintahan. Bidang-bidang strategis yang harus dikembangkan dalam Rencana Strategis tersebut sangat menentukan jenis dan jangkauan kebijakan tahunan yang perlu dikembangkan (dalam program, proyek dan kegiatan-kegiatan), tipe dan jumlah serta kualitas institusi-institusi pemerintahan yang diperlukan, jenis dan tingkat keterampilan manajerial skills yang diperlukan termasuk tipe kepemimpinan, dan sistem akuntabilitas publik serta budaya organisasi pemerintahan. Dengan kata lain, pembenahan kelembagaan harus didasarkan kepada kebutuhan pengembangan bidang-bidang strategis yang telah dirumuskan dalam Rencana Strategis Daerah dan Institusi Pemerintahan Kabupaten dan Kota. Dengan demikian, yang perlu dilakukan dalam pengembangan kelembagaan, meliputi (1) pengembangan kebijakan, (2) pengembangan organisasi, (3) pengembangan manajemen, (4) pengembangan sistem akuntabilitas publik, dan (5) pengembangan budaya organisasi.
Pengembangan SDM Aparat Pemerintahan. Bidang-bidang strategis dalam Rencana Strategis tersebut juga seharusnya menentukan jenis, jumlah dan kualitas SDM yang dibutuhkan di daerah khususnya pada lembaga pemerintahan kabupaten/kota. Pengalaman menunjukkan bahwa sering kali pengembangan SDM tidak dikaitkan dengan kebutuhan strategis daerah, bahkan terkesan kurang memberikan kontribusi bagi pemerintahan daerah itu sendiri. Dalam konteks SDM ini perlu difokuskan pengembangan  (1) keterampilan dan keahlian, (2) wawasan dan pengetahuan, (3) bakat dan potensi, (4) kepribadian dan motif bekerja, dan (5) moral dan etos kerjanya.
Pengembangan Network Pemerintahan. Rencana Strategis telah memberikan arah pengembangan SDM dan kelembagaan yang ada di daerah. Dalam melakukan berbagai pengembangan tersebut daerah pasti memiliki berbagai keterbatasan. Karena itu, harus dimungkinkan proses belajar sendiri dan kolaborasi dengan pihak lain dan tidak harus dengan pemerintah pusat sebagaimana selama ini terjadi. Seharusnya di masa mendatang daerah diberi kebebasan untuk belajar dari atau saling belajar dengan (1) kabupaten atau kota yang lain baik dari dalam maupun dari luar negeri, (2) lembaga-lembaga vertikal yang ada, dan (3) pusat-pusat pengembangan seperti perguruan tinggi dan LSM yang sesuai dengan kebutuhan mereka, melalui suatu ”jaringan kerja” yang terencana. Kolaborasi antara mereka sangat membantu proses belajar cepat di daerah.
Pengembangan dan Pemanfaatan Lingkungan Pemerintahan. Di samping semua perbaikan dan peningkatan tersebut, pemerintahan daerah sangat membutuhkan suatu lingkungan yang kondusif, yang dapat dimanfaatkan untuk berbuat yang terbaik bagi daerah. Di sini daerah harus mengupayakan (1) pemanfaatan lingkungan fisik dan nonfisiknya secara optimal dan bertanggung jawab, (2) pemanfaatan peraturan perundangan lebih tinggi dan (3) penciptaan dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di daerah. Peraturan perundangan yang mendukung pembangunan lokal harus dimanfaatkan sementara keamanan dan ketertiban harus diciptakan dan dimanfaatkan bagi pembangunan dan pelayanan publik di daerah. Dalam konteks ini, daerah harus memelihara, melanggengkan dan memanfaatkan lingkungannya agar masyarakat merasa aman sementara ia dapat bekerja memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya.. Semua elemen yang harus dikembangkan atau diperbaiki tersebut harus dilihat sebagai satu.

Fungsi Check and Balances

Mei 19, 2017 Add Comment

Dalam sistem ketata negaraan Indonesia pasca Amandemen ke-empat Undang-Undang Dasar 1945 kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain itu Presiden juga mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang- undang dan turut serta dalam pembahasan rancangan undang- undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan oleh Presiden. Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK)

Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing- masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.

Dalam konstitusi Indonesia, fungsi kontrol Legislatif terhadap Eksekutif meliputi persetujuan terhadap kekuasaan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; review terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (perpu) yang dibuat oleh Presiden, pembahasan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) bersama Presiden. Selain fungsi kontrol tersebut, DPR juga dapat mengajukan usul kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden karena melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela mau punbila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dalam pelaksanaan fungsi kontrol tersebut peran DPD sangat minim, yaitu sebatas “dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang- undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama”. DPD tidak berwenang secara langsung untuk menindak lanjuti hasil pengawasan tetapi hanya sebatas menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan Yudikatif (MA dan MK), DPR berwenang melakukan penyaringan terhadap para calon hakim agung dan mengajukan tiga dari sembilan orang hakim konstitusi.

Mekanisme checks and balances dalam sistem politik terkait erat dalam sistem pembagian kekuasaan antar tiga lembaga yaitu: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Di Indonesia mekanisme checks and balances secara tegas baru di praktekkan secara seimbang pada masa era reformasi. UUD 1945 telah mengatur dalam undang-undang kebebasan dan kewenangan di masing2 lembaga, namun pada masa Orde Baru lembaga eksekutif lebih dominan. Kekuasaan Presiden (eksekutif) pada masa Orde Baru didukung penuh oleh birokrasi yang mayoritas berasal dari kader-kader partai mayoritas Golkar dan militer yang memiliki hubungan struktural dengan Presiden, dan oleh Ruth McVey disebut dengan istilah bureaucratic politics.

Sistem pembagian kekuasaan yang dipraktekkan di Indonesia tidak lepas dari konsep trias politica Montesquieu, dalam bukunya “L’Espirit des Lois” yang ditulis pada tahun 1784, yang juga berangkat dari konsep pemisahan kekuasaan John Locke. Dalam perjalanan sejarah sistem politik Indonesia seperti yang ditulis oleh Miriam Budiardjo, Indonesia tidak mengenal pemisahan kekuasaan tetapi menganut pembagian kekuasaan.

Mekanisme checks and balances dalam pembagian kekuasaaan adalah untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan seperti terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Secara sederhana, checks and balances tidak saja menciptakan pembagian kekuasaan yang sehat dan seimbang diantara tiga lembaga, tetapi juga menciptakan pembatasan kekuasaan. Oleh sebab itu, penting sekali ketiga lembaga ini saling kerjasama, koordinasi dan mematuhi pembatasan kekuasaan ini.

Presiden (eksekutif) mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR dan menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang. Dalam amandemen atas UUD ’45 diatur pula pembatasan masa jabatan presiden. Lembaga DPR ( legislatif) memiliki kekuasaan membentuk undang-undang dan menjalankan legislasi, anggaran dan pengawasan. Untuk menjalankan fungsinya DPR memiliki hak interpelasi, hak angket dan menyatakan pendapat. Dalam menjalankan fungsi dan haknya di DPR diawasi langsung oleh publik (konstituen). Lembaga legislatif (MPR) memiliki wewenang pula atas usul DPR memberhentikan presiden. Amandemen UUD ’45 juga mengamanatkan penguatan lembaga yudikatif artinya kekuasaan kehakiman dijalankan secara independen dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan membentuk 3 (tiga) lembaga penting yaitu Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.

Birokrasi

Mei 14, 2017 Add Comment

Presiden SBY meluncur twitter, katanya agar dekat dengan rakyat. Berita ini penting kita simak karena presiden adalah pucuk pimpinan birokrasi Indonesia sampai dengan tahun pemilu 2014. Dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka penggunaan jejaringan sosial sudah lumrah diterapkan, terutama di negara2 maju. Yang menarik dari  penggunaan jejaringan sosial seperti twitter adalah dalam menyampaikan pesan kepada presiden, yaitu dengan keterbatasan karakter huruf yang dapat digunakan (40 karakter) maka bahasa formal dan rigid diabaikan,  yang muncul adalah bahasa lugas dan mudah-mudahan komunikasi 2 (dua) arah ini tidak berujung pada mis-komunikasi.
Birokrasi adalah alat/agen pelaksana kebijakan badan eksekutif. Birokrasi adalah sekumpulan jabatan dan tugas yang terorganisasi secara formal, yang membantu tugas pemerintah dan menerima gaji dari Negara


Bagaimana sistem birokrasi di Indonesia? Birokrasi di Indonesia memang merupakan warisan sistem birokrasi kolonial Hindia Belanda yang dikenal dengan pangreh praja. Dalam perjalanan sejarah birokrasi pada masa Orde Baru tidak berbeda dengan masa kolonial, yaitu birokrasi merupakan alat kekuasaan penguasa yang jauh dari praktek  aparatur yang professional dan kompeten.  Pada masa kolonial birokrat direkrut dari kalangan priyayi yang memiliki status sosial yang lebih tinggi di banding dari masyarakat yang lain. Proses rekrutmen pada masa kolonial mirip pula pada masa Orde Baru yaitu proses rekrutmen lebih berasal dari kader-kader partai mayoritas GOLKAR, militer dan kaum teknokrat yang berafiliasi dengan partai mayoritas Golkar. Proses rekrutmen yang tidak terbuka ini memunculkan penyakit birokrasi pemerintahan yang paternalistik dan sentralistik yang tergambar dalam praktek2 feodalisme. Sudah banyak dibahas tentang kelemahan praktik penyelenggaraan pemerintahan (birokrasi) di Indonesia, di antaranya adalah dalam menjalankan tugas2nya selalu minta pengarahan dari atasan; loyalitas pada atasan bukan pada institusi (muncul istilah ABS – asal bapak senang); tidak berorientasi pada prestasi dan kinerja; praktek ekonomi berbiaya tinggi yang berakibat pada tidak efisien dan tidak efektif dalam menjalankan pemerintahan; sistem rekrutmen yang tidak berdasarkan merit sistem berakibat pada membengkaknya jumlah pegawai yang tidak kompeten. Akibat dari gambaran patologi birokrasi ini maka muncul birokrat yang korup.

Pada era reformasi saat ini wacana good governance dalam praktik birokrasi disinergikan dengan membentuk Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi  (Kemenpan & RB) yang diharapkan meminimalkan patologi birokrasi yang telah disebut di atas. Langkah awal adalah dengan membentuk lembaga-lembaga negara yang  mandiri yang tujuan utama adalah pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Caranya dengan restrukturisasi birokrasi dan memperkenalkan mekanisme birokrasi yang transparan dan akuntabel, proses rekrutmen berdasarkan merit sistem dan dilakukan dengan sistem terbuka secara online. Ini adalah sebagian pekerjaan restrukturisasi birokrasi dan  masih banyak lagi yang harus dilaksanakan untuk memaksimalkan  pelayanan publik dan meminimalkan patologi birokrasi.

Pendidikan Multikultural untuk Kemajuan Demokrasi

Mei 14, 2017 Add Comment

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan keberagaman bahasa, agama, kultur dan budaya, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, dengan berbagai keberagaman yang kompleks tersebut Indonesia merupakan salah satu negara multikultural. Selain sebagai negara multikultural, negara Indonesia menganut sistem demokrasi dalam pemerintahan, negara Indonesia juga merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, negara Indonesia memilih demokrasi sebagai alat pembangunan untuk mencapai kesejahteraan, demokrasi sangat baik dan penting di terapkan di negara multikultural seperti Indonesia.
Demokrasi multikultural adalah produk bangsa Indonesia yang harus dijaga kelestarian ditengah keberagaman dan kemajemukan masyarakat sehingga terciptanya kerukunan yang saling mengisi dalam proses pembangunan bangsa ini. Pembangunan dengan kesamaan visi baik secara ideologi politik, agama, ekonomi maupun budaya merupakan faktor pendukung demokrasi multikultural. Susilo Bambang Yudoyono (2012) mengatakan bahwa keberadaan demokrasi dan agama merupakan hasil reflektif perjalanan suatu bangsa.Demokrasi di Indonesia mengalami kondisi pasang surut, agar kualitas demokrasi dapat terjaga dengan baik prinsip demokrasi harus dikembangkan seiring pembentukan nilai-nilai moral dalam struktur kekuasaan maupun masyarakat. Ada beberapa masalah dalam demokrasi di Indonesia diantaranya adalah banyaknya partai peserta pemilu, proses pilkada langsung yang belum matang, ketidak siapan masyarakat dalam memainkan peran dalam demokrasi multikultural. Masalah tersebut menjadi tantangan yang harus secara terus menerus diperbaiki dalam lingkup kedamaian, harmonis dan etos kerja yang benar.
Untuk memaksimalkan demokrasi multikultural kita harus mengaspirasi kepentingan dari golongan kaum mayoritas dan kaum minoritas, keduanya harus diasosiasikan atau berada dalam jaringan aspirasi politik yang dikombinasikan melalui pemahaman tentang pentingnya multikultural secara menyeluruh. Kemajemukan masyarakat tidak bisa dihindari tetapi harus kita gali dan laksanakan hidup rukun, aman, berdampingan, harmonis, damai dan toleran serta koeksistensi.
Sebagai negara multikultural dan negara demokrasi diperlukan rasa toleransi dari setiap warga agar tercipta kerukunan, persatuan dan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sikap toleransi harus dipupuk sejak dini, peran pendidikan sangat penting untuk menjadikan generasi penerus bangsa memahami pentingnya toleransi dalam sebuah negara multikultural. Pola pendidikan dalam negara multikultural seperti Indonesia harus menekankan kepada keberagaman masyarakat agar tidak terjadi konflik diantara warga. Selain itu diperlukan pendidikan demokrasi dengan baik yang menekankan pentingnya konsolidasi demokrasi multikultural agar tercipta perdamaian dan peningkatan demokrasi. Dalam konsep psikologi pendidikan, sesuatu yang paling banyak mempengaruhi pribadi sesorang adalah orang atau lingkungan. Yang perlu ditegaskan dalam pendidikan multikultural adalah paradigma interkoneksitas yaitu : learning to think, learning to do, learning to be, learning to live together.


Visi pendidikan yang dibangun bukanlah ideologisasi, tetapi humanisasi-spiritualisasi.
Paradigma pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting untuk membangun cara pandang cara hidup. Oleh karena itu,  paradigma multikulturalisme sebetulnya ingin menawarkan bahwa cara pandang kita sebagai umat dalam kehidupan berbangsa tidak lagi logosentris, terpusat, tetapi desenter.  
Dalam kehidupan umat sendiri ada beban baik beban teologis maupun humanis 

Negara, Bangsa, dan Masyarakat Indonesia

Mei 14, 2017 Add Comment

Negara ialah tatanan dari rakyat, wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh pemerintahan yang sah dan berdaulat. Negara mempunyai kewenangan yang istimewa; membentuk angkatan bersenjata, lembaga peradilan, pemerintahan, parlemen, mencetak uang, menggunakan kekerasan di wilayah kedaulatannya. Pemerintah merupakan salah satu unsur aparatur negara, sebagai kelompok sosial pada periode terbatas mendapat kesempatan memegang pucuk pimpinan eksekutif. Konsep negara dan teori asal usul negara didefinisikan beragam menurut para pakar. Hal ini tergantung dari sudut pkitang mereka. Berdirinya suatu negara, harus memenuhi syarat-syarat, yaitu adanya pemerintahan yang berdaulat, wilayah, warga negara, dan pengakuan pihak lain.
Bangsa adalah suatu kesatuan solidaritas, satu jiwa, dan satu asas spiritual yang tercipta oleh pengorbanan masa lalu demi masa depan generasi penerusnya. Faktor yang mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat Indonesia sebagai bangsa ialah kesamaan latar belakang sejarah, tekad untuk hidup bersama guna mencapai cita-cita masa depan yang lebih baik (masyarakat adil dan makmur aman sentosa).
Ada dua asas yang dipakai dalam penentuan  Kewarganegaraan, yaitu asas Ius Soli dan asas Ius Sanguinis.
Asas ius soli menentukan warga negaranya berdasarkan tempat tinggal/kelahiran di suatu negara, adalah warga negara tersebut. Sebagai contoh, apabila Kita punya anak lahir di Amerika Serikat karena Amerika Serikat menganut asas ius soli ini secara otomatis anak tersebut mempunyai  Kewarganegaraan Amerika Serikat. (dilihat dari sisi Amerika Serikat).
Asas ius sanguinis, menentukan warga negaranya berdasarkan keturunan (pertalian darah), dalam arti siapa pun anak kandung (yang sedarah seketurunan) akan mengikuti  Kewarganegaraan orang tuanya. Dengan kedua asas tersebut dapat menimbulkan implikasi sebagai berikut.
a. Mereka yang mempunyai  Kewarganegaraan gkita atau bipatride karena negara asal orang tua yang bersangkutan menganut asas ius sanguinis sedangkan yang bersangkutan melahirkan anak, tinggal di negara yang menganut asas ius soli.
b. Mereka yang sama sekali tidak mempunyai  Kewarganegaraan (apatride) karena yang bersangkutan dilahirkan di negara yang menganut asas ius sanguinis sedangkan negara asal orang tua yang bersangkutan menganut asas ius soli.

Masyarakat adalah keseluruhan kompleks hubungan individu yang luas dan terpola dalam lingkup yang besar (negara) atau kecil dalam suatu suku bangsa atau kelompok sosial lainnya. Masyarakat warga negara (civil society) atau masyarakat madani bukan berarti masyarakat sipil. Civil society adalah wilayah atau ruang publik yang bebas, di mana individu, warga negara melakukan kegiatan secara merdeka menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul. civil society sebagai suatu tatanan kehidupan yang menginginkan kesejajaran hubungan antara warga negara dan negara atas dasar prinsip saling menghormati, hubungan negara dengan warga negara bersifat konsultatif (tidak konfrontatif), warga negara mempunyai kewajiban dan hak, dan negara memperlakukan warga negara secara adil, hak dan kebebasan yang sama equal right. Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat (masyarakat warga negara) diperlukan adanya kesatuan pola pikir, sikap dan tindakan. Bela negara merupakan kewajiban dan hak setiap warga negara. Oleh karena tanggung jawab kelangsungan hidup bangsa dan negara adalah tanggung jawab bersama sebagai bangsa. Falsafah bangsa, pkitangan hidup, ideologi, dasar negara, konstitusi, Wasantara dan Tannas merupakan kerangka dasar kehidupan nasional yang hierarkis.
Pancasila merupakan falsafah, pkitangan hidup, ideologi/paham, dan dasar negara yang tercantum dan tak terpisahkan dalam UUD 1945. Dalam mencapai tujuan nasional diperlukan teori-teori atau asas-asas yang diyakini kebenarannya sebagai pedoman dasar, Wasantara sebagai doktrin dasar dan Tannas sebagai doktrin pelaksanaan.

Makna dan Landasan Hukum Pendidikan  Kewarganegaraan
1. Upaya sadar.
2. Menyiapkan calon pemimpin.
3. Mempunyai kecintaan, kesetiaan, dan keberanian, membela bangsa dan negara.

Dasar sejarah
1. Upaya pada masa penjajahan.
2. Gerakan yang dimulai pada tahun 1908.
3. Ikrar Pemuda pada 28 Oktober 1928.
4. Semangat pemuda pada masa Jepang.
5. Proklamasi kemerdekaan.
6. Perjuangan pada awal masa kemerdekaan.
7. Pengkhianatan, pemberontakan, dan penyelewengan.

Dasar Hukum
UUD 1945: Pembukaan, Pasal 3 0 ayat (1), Pasal 31 ayat (1). Skep Bersama Mendikbud-Menhankam No. 22/U/1973 KEP/B/43/XIII/ 1967
1. UU No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara RI yang disempurnakan dengan UU No. 3 Tahun 2002 tentang UU Pertahanan Negara. Skep Bersama Mendikbud-Menhankam No. 001 /N/1982 KEP/002/II/1985.
2. UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem  Pendidikan  Nasional yang di sempurnakan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem  Pendidikan  Nasional.
3. Keputusan Mendiknas No. 232/U/2000 tentang Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa
4. Keputusan dengan Dikti No 38/Dikti/Kep/2002.

Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan  Kewarganegaraan diselenggarakan untuk menumbuhkan kesadaran bela negara serta kemampuan berpikir secara komprehensif integral.
Untuk mencapai tujuan itu  Pendidikan  Kewarganegaraan membahas Wasantara, Tannas, politik dan strategi nasional, politik dan strategi pertahanan keamanan, serta sistem pertahanan keamanan rakyat semesta.

Kaitan Hubungan Antara Materi Dengan Tujuan Pendidikan  Kewarganegaraan
Bangsa Indonesia mempunyai konsep kemampuan (power) yang merupakan derivasi dari Pancasila, yaitu “Tannas”. Adalah kewajiban para pemimpin termasuk para mahasiswa sebagai calon pemimpin harus menjawab dan memahami konsepsi “Tannas”.
Kemampuan/kekuatan (power) diwujudkan melalui pembangunan nasional. Kebijaksanaan dan strategi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional diwujudkan dalam bentuk GBHN (sekarang Propenas) oleh MPR setiap tahun. Oleh karena itu, pada hakikatnya GBHN (Propenas) adalah Politik Nasional dan Strategi Nasional.
Cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara dalam kerangka Tannas yang diwujudkan dalam Pembangunan Nasional sesuai dengan arahan GBHN. Sekarang Propenas mutlak disertai dengan kerelaan berkorban untuk membela bangsa dan negara.

Wawasan Nusantara

Mei 14, 2017 Add Comment

Wasantara tumbuh dan berkembang sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia, berangkat dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang rawan perpecahan, keinginan untuk memanfaatkan konstelasi geografi Indonesia yang berupa kepulauan dan berada di tengah-tengah dunia (posisi silang) untuk kejayaan bangsa dan negara. Pandangan tersebut berkaitan dengan konsep geopolitik dan geostrategi yang perlu mendapat pengakuan internasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memperjuangkan dalam forum hukum laut internasional maupun menjadikan perjanjian dengan negara-negara tetangga mengenai batas wilayah. Baru pada tahun 1982, konvensi Hukum Laut menerima asas negara kepulauan atau asas nusantara diterima sebagai hukum internasional, dan bersamaan dengan itu pula ditetapkan perluasan yurisdiksi negara-negara pantai di lautan bebas atau ZEE. Hasil konvensi ini disahkan pada bulan Agustus 1983 di New York.

A. MENGENALI GEOGRAFI, GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI BANGSA INDONESIA
A1. MENGENALI GEOGRAFI
Kondisi geografis dan kedudukan geografis dalam kaitannya dengan percaturan dunia serta kebijakan-kebijakan dalam pemanfaatan kondisi dan kedudukan geografi turut menentukan dalam pembentukan wawasan nasional.
Kepulauan Nusantara merupakan kepulauan terbesar di dunia. Bentuknya memanjang di sekitar katulistiwa. Negara kepulauan yang luas dan jumlah penduduk yang besar (ke-4 dunia) kalau kita rinci karakteristik geografi dan penduduknya adalah sebagai berikut.
a. Panjang wilayah 1/8 katulistiwa (1/8 X 40.000 km).
b. Jarak terjauh Utara-Selatan 1.118 km dan jarak terjauh Timur-Barat 5.110 km.
c. Dilalui oleh garis Katulistiwa, berada di antara 6° Lintang Utara – 11o Lintang Selatan; 95° Bujur Timur – 141° Bujur Timur.
d. Berada di antara dua buah benua Asia - Australia; dan di antara dua buah samudra, yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
e. Terdiri dari 17.508 buah pulau besar dan kecil.
f. Luas daratan ± 1,9 juta km dan luas perairan 2/3 dari seluruh wilayah.
g. Indonesia bagian Barat dominan daratan daripada perairan, sedangkan Indonesia bagian Timur lebih dominan perairan daripada daratan.
h. Pada umumnya tanahnya subur, kecuali di beberapa tempat di Kalimantan dan Irian.
i. Bumi mengandung kekayaan alam (mineral) yang potensial. Dari 11 mineral terpenting di dunia, 7 jenis terdapat di Indonesia.
j. Penduduk yang cukup besar menduduki urutan ke-4 di dunia. Namun, dari jumlah penduduk yang besar tersebut penyebarannya tidak merata. Daerah Jawa, Madura, Bali dan Lombok (JAMBAL) dikategorikan sebagai daerah terpadat, sedangkan daerah lainnya masih jarang penduduknya.

Kondisi geografi berupa kepulauan yang luas dan panjang dengan penduduk yang majemuk (ratusan suku bangsa yang berbicara dalam 746 bahasa daerah (12% dari jumlah bahasa di dunia) memang sulit dipersatukan.

A2. mengenali GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI
Kebijakan dan pelaksanaan dalam memanfaatkan keuntungan letak geografi yang strategis berkaitan dengan geopolitik dan geostrategi bangsa Indonesia. geopolitik ini mengandung pengertian kebijakan politik yang mengaitkan pengaruh letak geografi bumi yang menjadi wilayah (ruang hidup) manusia yang tinggal di atas permukaan bumi. Bagi bangsa Indonesia, geopolitik merupakan pandangan baru dalam mempertimbangkan faktor- faktor geografis wilayah negara untuk mencapai tujuan nasional. Artinya, geopolitik adalah kebijaksanaan dalam rangka mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan keuntungan letak geografis negara berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang kondisi geografis tersebut. Sedangkan geostrategi ialah kebijaksanaan pelaksanaan dalam menentukan tujuan-tujuan dan sarana-sarana tersebut guna mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan konstelasi geografis negara.Geopolitik Indonesia dikembangkan sesuai dengan Pancasila sehingga tidak mengandung unsur-unsur ekspansionisme maupun kekerasan.
Pada geostrategis, keadaan dan letak negara Indonesia pada posisi silang memberikan pengaruh terhadap segenap kehidupan bangsa. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat menguntungkan, tetapi juga mengundang berbagai bentuk ancaman. Analisis posisi silang negara Indonesia itu tidak hanya mengenai segi fisik-geografisnya saja, melainkan mengenai aspek-aspek kehidupan sosial, yaitu:
a) demografi (kependudukan) antara daerah yang berpenduduk padat di utara dan daerah yang berpenduduk jarang di selatan;
b) ideologi antara komunisme di utara dan liberalisme di selatan;
c) politik antara demokrasi rakyat di utara (Asia Daratan bagian utara) dan demokrasi parlementer di selatan;
d) ekonomi antara sistem ekonomi terpusat di utara dan sistem ekonomi liberal di selatan;
e) sosial antara komunisme atau sosialisme (komune) di utara dan individualisme di selatan;
f) budaya antara kebudayaan Timur di utara (Budha/Kong Hu Chu) dan kebudayaan Barat di selatan;
g) hankam antara sistem pertahanan kontinental (kekuatan di darat) di utara dan sistem pertahanan maritim di barat, selatan dan timur.
Posisi silang dengan segala akibatnya, memaksa bansga Indonesia memilih strategi turut serta mengatur lalu lintas kekuatan-kekuatan atau pengaruh tersebut dengan ikut berperan sebagai subjek dengan mengendalikan, dan memanfaatkan kekuatan-kekuatan tersebut untuk kepentingan nasional. Alternatif kedua menuntut kemampuan bangsa Indonesia menciptakan kekuatan sentrifugal artinya lalu lintas kekuatan-kekuatan yang melewati Nusantara harus mampu dikelola, dikendalikan dan dimanfaatkan memberikan sinergi pada kekuatan bangsa dalam pembangunan nasional. Pengaruh-pengaruh buruk akibat posisi silang harus dapat diatasi dengan membangun Tannas bangsa Indonesia

Sejarah Bangsa dan Latar Belakang Ketahanan Nasional

Mei 14, 2017 Add Comment

Bangsa Indonesia mengalami penjajahan berabad-abad lamanya. Penjajahan itu mengakibatkan penderitaan lahir dan batin, kemiskinan dan kebodohan. Perjuangan mengusir penjajah mulai dari perlawanan Sultan Agung dari kerajaan Mataram pada tahun 1613 sampai perlawanan Sisingamangaraja (Batak) pada tahun 1900 tidak pernah berhasil. Hal ini karena di satu sisi, tidak adanya persatuan dan kesatuan di kalangan bangsa Indonesia dan di sisi lain “keragaman” bangsa Indonesia mudah dieksploitasi dengan politik “pecah belah” atau “adu domba” atau secara populer disebut juga politik “de vide et impera”.

Perjuangan selanjutnya memunculkan angkatan perintis kemerdekaan (1908) yang ditandai dengan berdirinya Budi Utomo, dan 20 tahun kemudian muncul angkatan “Penegas” Sumpah Pemuda (1928). Strategi perjuangan dalam melawan penjajah diubah dengan jalan Pendidikan Untuk Memajukan Bangsa dan Membangkitkan Semangat Nasionalisme. Hasil perjuangan yang menonjol dalam periode ini adalah tumbuh semangat atau jiwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia (ingat ikrar Sumpah Pemuda).

Periode selanjutnya, masa penjajahan Jepang (1942 babak-1945), merupakan baru perjuangan bangsa Indonesia. Pada mulanya bangsa Indonesia bersimpati pada penjajah baru ini. Bangsa Indonesia menduga bahwa Jepang akan membantu mempercepat proses perjuangan mencapai kemerdekaan. Akan tetapi, kenyataannya sangat mengecewakan bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia, makin menderita, dan makin miskin. Hasil bumi maupun ternak rakyat banyak disita untuk kepentingan penjajah. Banyak rakyat Indonesia dipaksa menjadi “Romusha” (pekerja paksa) baik di Indonesia maupun dikirim ke luar negeri, untuk kepentingan pemerintahan militer Jepang pada waktu itu yang sedang terdesak oleh tentara Sekutu. Kondisi ini dapat Anda tanyakan pada pelaku sejarah di daerah Anda sendiri sehingga Anda dapat membandingkan kondisi pada masa penjajahan Belanda dengan Jepang.

Namun, pada hakikatnya penjajah siapa pun bangsanya pada intinya membawa kesengsaraan, penderitaan lahir batin bagi bangsa terjajah.
Oleh karena itu, pada masa pendudukan militer Jepang yang kita kategorikan sebagai penjajah, muncul perlawanan (ingat bukan pemberontakan) di beberapa tempat, antara lain di Blitar oleh anggota Peta dan di Jawa Barat (Singaparna). Tentu saja perlawanan terhadap Jepang itu tidak hanya di kedua tempat tersebut. Banyak perlawanan terhadap Jepang ini tidak terekam dalam catatan sejarah yang kita pelajari, tetapi yang dapat Anda saksikan adalah “makam pahlawan” yang bertebaran di seluruh Indonesia yang isinya antara lain pejuang-pejuang yang gugur di zaman penjajahan Jepang.
Peperangan melawan penjajah ini tiada hentinya. Perjuangan di daerah yang satu dapat dipadamkan, tetapi di daerah lain muncul perjuangan baru, bak kata pepatah “patah tumbuh hilang berganti atau mati satu tumbuh seribu”. Pengorbanan mereka tidak sia-sia, semangat juang dan kerelaan berkorban demi bangsanya perlu kita warisi. Kesempatan emas itu datang dengan ditaklukkannya Jepang kepada Sekutu 15 Agustus 1945. Maka pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, dan terbentuklah Negara Republik Indonesia.
Untuk lebih memahami latar belakang tannas dari sisi sejarah sejak perlawanan Sultan Iskandar Muda (Kerajaan Aceh) sampai dengan Kemerdekaan RI disajikan dalam ringkasan di atas.
Walaupun kemerdekaan sudah diproklamasikan, perjuangan bangsa Indonesia terus dilanjutkan untuk mempertahankan kemerdekaan dari serangan-serangan pasukan bangsa asing. Konflik dengan tentara Sekutu tidak bisa dihindarkan. Pasukan tentara Sekutu yang tergabung dalam Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) yang seharusnya bertugas menerima penyerahan tentara Jepang, membebaskan tawanan perang, menjamin keadaan damai dan penyerahan pemerintahan ke pihak sipil, ternyata diboncengi tentara Netherland Indies Civil Administration (NICA) dan menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia yang telah menyatakan dirinya merdeka.
Pertempuran terjadi di Surabaya (ingat peristiwa 10 November yang kita peringati sebagai hari pahlawan), di Ambarawa November-Desember 1945, di Medan Area (Sumatra Utara) Desember 1945-April 1946, pertempuran di Bandung, Maret 1946 (ingat peristiwa Bandung Lautan Api 24 Maret 1946) dan tempat-tempat lainnya di wilayah Indonesia.


350 Tahun lebih menderita, hasilnya adalah Kemiskinan dan Penderitaan Lahir Batin
Upaya Perlawanan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia, antara lain:
- Iskandar Muda di Aceh (1636)
- Sisingamangaraja dari Batak (1900) Perjuangan tersebut Penjajah
- Imam Bonjol di daerah Minangkabau (1822 belum berhasil Politik, pecah-- 1837)
- Badarudin di daerah Palembang (1817) belah dan
- Sultan Tirtayasa dari Banten (1650) kuasa (Sistek
- Untung Suropati dari Jatim (1670) dan Sissos)
- Jalantik dari Bali (1850) Kurang adanya persatuan
- Anak Agung Made dari Lombok (1895)
- Pangeran Antasari dari Kalsel (1860)
- Hasanuddin dari Makasar (1660)
- Pattimura dari Maluku (1817)

Tahap Perjuangan selanjutnya: Cara Perjuangan terhadap Penjajah diubah
(1) Angkatan Perintis (1908)dengan jalan:
Dirintis oleh Budi Utomo yakni Di didik untuk memajukan Bangsa
(2) Angkatan Penegas (1928):Hasil perjuangan yang menonjol "Jiwa Sumpah Pemuda    Persatuan Bangsa Indonesia".

Pada periode Penjajahan Jepang (1942-1945)
Merupakan babak Penjajahan Baru sehingga timbul berbagai pemberontakan melawan Jepang sebab penjajahan jepang tetap menimbulkan Kemiskinan dan Penderitaan

Perlawanan terhadap tentara Belanda (NICA), terjadi setelah usai perundingan Linggar Jati, Belanda melakukan kecurangan dengan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Perlawanan terus dilanjutkan dan berakhir pada perundingan Renvile 8 Desember 1947 yang membuat Indonesia menjadi bagian dari Uni Indonesia Belanda.
Setelah perjanjian Renvilee timbul pula pengkhianatan Partai Komunis Indonesia yang memproklamasikan negara Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September 1948. Selesai peristiwa Madiun (affair Madiun) Belanda (NICA) melakukan agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Hal itu membawa Indonesia-Belanda ke Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 23 Agustus 1949. Hasil KMB membuat Indonesia menjadi Negara Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 16 negara bagian. Ternyata kemudian bentuk negara federal ini tidak dikehendaki oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Disadari bentuk negara federal ini tidak dilandasi konsepsi yang kuat, latar belakang pendirinya adalah untuk menghancurkan Indonesia hasil proklamasi 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, antara RIS dan Republik Indonesia (sebagai Negara Bagian RIS) sepakat untuk membentuk negara kesatuan, dan pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS menjelma menjadi negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hikmah perjuangan bangsa dan negara RI dari peristiwa perlawanan terhadap tentara asing sejak proklamasi kemerdekaan sampai 17 Agustus 1950 adalah sebagai berikut.
1. Kendatipun Tentara Inggris dan Belanda lebih modern persenjataan dan organisasinya, tidak membuat perjuangan rakyat Indonesia pupus, semangat juang terus dikobarkan. Keberanian berkorban demi bangsa dan negara (membela tanah air) membudaya di kalangan pemuda (ingat semboyan merdeka atau mati!).
2. Politik devide et impera Belanda gagal. Bangsa Indonesia mengutamakan persatuan dan kesatuan.

Sementara itu, di dalam negeri terjadi konflik akibat kekacauan politik dan gerakan pembangkangan Kartosuwirjo yang tidak puas terhadap hasil perundingan Renvile. Kartosuwiryo mengumumkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) tanggal 7 Agustus 1949 (latar belakang ideologi agama) di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pemberontakan yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap kebijaksanaan pemerintah pusat (Darul Islam di Sulawesi Selatan dan Aceh). Ketidakpuasan politik dan golongan terhadap pemerintah Pusat (PRRI/Permesta), bermotifkan ideologi komunis (Pemberontakan Gerakan 30 September/PKI) sampai kepada pemberontakan yang bermotifkan “nostalgia” pada zaman kolonial (pemberontakan Kapten Andi Azis, RMS/APRA). Walaupun berbagai bentuk pemberontakan itu dapat dipadamkan, konflik-konflik yang bersifat lokal dan bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan) kerap terjadi, namun dapat diatasi dengan baik.
Uraian tersebut menggambarkan pada Anda bahwa bangsa Indonesia sejak kelahirannya (proklamasi) terus-menerus mengalami krisis. Namun, kenyataannya sampai sekarang bangsa Indonesia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal itu terjadi karena bangsa Indonesia memiliki tannas sebagai bangsa.
Walaupun bangsa Indonesia berjuang menghadapi tentara asing (penjajah) maupun konflik internal di dalam negeri dengan berbagai latar belakangnya, namun bangsa Indonesia tetap utuh dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa dan negara Indonesia mempunyai keuletan dan ketangguhan (Ketahanan) dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (National Survival). Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, bangsa Indonesia harus mempunyai tannas (National Resillience). Tannas itu harus dibina dan ditingkatkan sejalan dengan perkembangan bangsa Indonesia dan lingkungan strategiknya.

Rumusan terakhir tannas, merupakan kondisi dinamik yang dimiliki suatu bangsa. Di dalamnya mengandung “keuletan dan ketangguhan” yang mampu mengembangkan kekuatan nasional. Kekuatan itu kita perlukan untuk mengatasi segala macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG), yang datang dari dalam atau dari luar, yang langsung atau tidak langsung membahayakan identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan nasional.
Untuk lebih memahami pengertian tannas dengan kalimat yang panjang di atas coba Anda perhatikan Gambar Bagan Skematis Pengertian Tannas

Pengertian Landasan dan Ciri Tannas

Tannas  pada hakikatnya adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara.
Dalam fungsinya sebagai sistem pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan nasional maka dalam penyelenggaraan atau pembinaan tannas dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Kedua pendekatan itu (kesejahteraan-keamanan) tidak kita pisahkan dan hanya bisa dibedakan bak satu keping mata uang, sisi yang satu berupa aspek kesejahteraan dan sisi yang lainnya berupa aspek keamanan. Penekanan pada salah satu aspek tergantung pada kondisi yang dihadapi oleh suatu bangsa.

Tannas dilandasi oleh Wasantara dalam upaya mencapai tujuan dan cita-cita bangsa sebagai pengejawantahan Pancasila.

Asas tannas, yaitu (1) pendekatan kesejahteraan dan keamanan,    (2) komprehensif dan integral. Sebagai doktrin ia merupakan cara terbaik yang diakui kebenarannya dan dijadikan pedoman dalam memenuhi tuntutan perkembangan, bangsa dan lingkungan untuk kelangsungan hidup dan kejayaan bangsa dan negara.
Sebagai metode pemecahan masalah maka ia akan menjelaskan:
1. kondisi kehidupan nasional dalam suatu waktu;
2.  memprediksi kehidupan nasional pada waktu yang akan datang;
3. mengendalikan kehidupan nasional agar sesuai dengan kondisi yang diharapkan atau ditetapkan.

Selain mempunyai asas ia juga mempunyai sifat, yaitu                  (1) manunggal, (2) mawas ke dalam dan ke luar, (3) kewibawaan,        (4) berubah menurut waktu, (5) tidak membenarkan adu kekuatan atau adu kekuasaan, dan (6) percaya pada diri sendiri.

Tannas sebagai konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan sistem kehidupan nasional mempunyai wajah dan fungsi. Wajah tannas dalam bentuk kondisi, doktrin, dan metode. Sebagai kondisi merupakan totalitas segenap aspek kehidupan bangsa yang didasarkan nilai persatuan dan kesatuan (Wasantara) untuk mewujudkan daya tangkal, daya kekebalan dan daya kena dalam berinteraksi dengan lingkungan. Sebagai doktrin ia merupakan cara terbaik yang ada untuk mengimplementasikan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Sebagai metode ia merupakan cara pemecahan masalah nasional dalam perkembangan bangsa dan untuk kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Fungsi tannas adalah sebagai doktrin perjuangan nasional, metode pembinaan kehidupan nasional, pola dasar pembangunan nasional dan sebagai sistem kehidupan nasional.


Keterkaitan Antargatra Dalam Tannas dan Ketahanan Gatra Tannas

Pengelompokan bidang kehidupan bangsa Indonesia dibuat dalam    8 kelompok gatra (model) bidang kehidupan. Kedelapan gatra tersebut (Astagatra) dibagi dalam dua kelompok, yaitu trigatra (geografi, sumber kekayaan alam, dan demografi) dan pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam).
Gatra-gatra tersebut dapat dibedakan secara teoretik tetapi tidak bisa dipisahkan karena keterkaitan yang kuat satu sama lain. Oleh karena itu, astagatra ini harus dilihat secara holistik dan integral (bulat utuh menyeluruh).

Trigatra bersifat statis dan Pancagatra bersifat dinamis. Trigatra merupakan modal dasar untuk meningkatkan Pancagatra. Kelemahan di dalam satu gatra dapat mempengaruhi gatra yang lain dan sebaliknya meningkatnya kekuatan pada salah satu gatra dapat meningkatkan gatra yang lain (sinergi).
Tannas pada hakikatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan. Dalam rangka itu, peranan gatra terhadap kondisi kesejahteraan dan keamanan sebagai berikut.
1. Ada gatra yang sama besar peranannya untuk kesejahteraan dan keamanan.
2. Ada gatra yang lebih besar peranannya untuk kesejahteraan daripada keamanan.
3. Ada gatra yang lebih besar peranannya untuk keamanan daripada kesejahteraan.

Trigatra, ideologi, politik peranannya sama besar dalam kesejahteraan dan keamanan.
Gatra Ekonomi, sosial budaya lebih besar untuk kesejahteraan daripada keamanan.
Hankam lebih besar untuk kesejahteraan keamanan daripada kesejahteraan. Tannas merupakan resultan (hasil) dari ketahanan masing-masing aspek kehidupan (gatra).

TRI GATRA
Kelompok gatra alamiah adalah:
1. Geografi,
2. Kekayaan alam,      
3. Demografi (kependudukan)
  
PANCA GATRA
Kelompok gatra sosial adalah:
1. Ideologi
2. Politik
3. Ekonomi
4. Sosial Budaya
5. Hankam


Kedelapan aspek tersebut masing-masing berhubungan, kait-mengait utuh menyeluruh membentuk tata laku sistem kehidupan nasional. Pembidangan kehidupan nasional sebanyak delapan adalah kesepakatan bangsa Indonesia, para ahli dari negara lain membaginya tidak hanya delapan bidang kehidupan, tetapi bisa kurang atau lebih. Hal ini tergantung pada latar belakang dan visi masing-masing tentang kehidupan nasional tersebut.

Landasan Tannas

Tannas sebagai konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan sistem kehidupan nasional di dalam pelaksanaannya mempunyai landasan yang kuat yaitu Pancasila, UUD 1945 dan Wasantara.

Perwujudan Tannas

Pembangunan nasional yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, pada dasarnya untuk mewujudkan tannas. Titik berat pembangunan nasional pada bidang ekonomi karena bidang ekonomi ini mempunyai “daya biak” terhadap bidang-bidang kehidupan lainnya, untuk meningkatkan spektrum kemampuan kita sebagai bangsa dan negara.

Peningkatan spektrum kemampuan tersebut untuk menghasilkan daya kembang, daya tangkal dan daya kena. Untuk itu, diperlukan dukungan sumber daya manusia yang “berkualitas”. Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi (menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta dilandasi oleh iman dan taqwa berakar pada budaya Pancasila) merupakan kunci dari peningkatan tannas. Oleh karena itu, dalam pembangunan nasional, pembangunan sumber daya manusia merupakan titik sentral dan hal ini sejalan dengan hakikat pembangunan nasional Indonesia yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

Dalam pembangunan nasional diperlukan pimpinan nasional yang kuat, berwibawa, serta mampu mempersatukan bangsa serta mempunyai visi ke depan membawa bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasional.

Dalam ketatanegaraan Indonesia, mekanisme kepemimpinan nasional telah ditetapkan yang dikenal dengan mekanisme kepemimpinan 5 tahun yang dibagi dalam 13 tahapan.

Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ini perlu diwaspadai masih adanya bahaya laten yang bersifat ideologis maupun non-ideologis yang ingin memecah belah kita sebagai bangsa. Untuk itu, diperlukan kewaspadaan nasional yang sejalan dengan itu yakni berkehidupan Pancasila (budaya Pancasila) yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.


Ketahanan Nasional dalam Era Globalisasi

Mei 14, 2017 Add Comment

Istilah globalisasi menunjukkan gejala menyatunya kehidupan manusia di planet bumi ini tanpa mengenal batas-batas fisik-geografik dan sosial yang kita kenal sekarang ini. Globalisasi berkembang melalui proses yang dipicu dan dipacu oleh kemajuan pesat “revolusi” di bidang teknologi komunikasi atau informasi, transportasi dan perdagangan yang dikenal dengan istilah Triple T.

Pemikiran Naisbitt menyatakan menyatunya kehidupan di dunia (globalisasi) disertai dengan munculnya berbagai paradoks (kondisi pertentangan). Dikhawatirkan “globalisasi” akan menghilangkan negara bangsa (nation state)? Disisi lain globalisasi haruslah dipandang sebagai suatu “peluang” (oportunity) untuk meningkatkan, mengembangkan, dan memperkokoh bangsa, agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju. Untuk itulah, diperlukan Tannas yang tangguh bagi bangsa Indonesia di Era Globalisasi.
Globalisasi merupakan suatu pengertian ekonomi. Konsep globalisasi baru masuk kajian dalam universitas pada tahun 1980-an, pertama-tama merupakan pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Robertson dari University of Pittsburgh.

Pada prinsipnya, proses globalisasi ada yang bertujuan intensional dan ada pula yang impersonal. Proses globalisasi yang intensional dapat dilihat misalnya pada kegiatan perdagangan dan pemasaran, sedangkan proses globalisasi yang impersonal dapat kita lihat, misalnya dalam gerakan fundamentalis, agama dan kecenderungan-kecenderungan pasar yang agak sulit untuk dijelaskan sebab-musababnya, misalnya mundurnya mobil buatan Amerika di pasaran dunia dewasa ini.
Globalisasi menyebabkan  “bazar global” karena dunia sebenarnya telah merupakan pasaran bersama dengan adanya alat-alat komunikasi serta entertainment global melalui jaringan TV, internet, film, musik maupun majalah-majalah maka dunia dewasa ini telah merupakan suatu pasar yang besar (global cultural bazaar). Bahwa dunia telah menjadi satu pasar, dapat kita lihat gejalanya di kota-kota besar di Indonesia, dengan menjamurnya mal-mal yang dibanjiri produk luar negeri.
Dewasa ini kita juga melihat bahwa suatu produk tidak lagi dihasilkan di satu negara, tetapi komponen-komponennya telah dibuat di berbagai negara karena pertimbangan-pertimbangan bisnis yang lebih menguntungkan. Produk Boeing, Toyota, Mitsubisi, General motor merupakan contoh desentralisasi dalam produksinya. Sementara itu, proses produksi juga berkembang menjadi produksi massal (mass production) yang memungkinkan penekanan harga sehingga dapat dijual lebih murah.
Pesatnya kemajuan bisnis juga didorong oleh apa yang disebut uang global (global money) yakni credit card. James Champy penulis terkenal Reengineering The Corporation, menyatakan selera konsumen sangat menentukan dalam transformasi global.

Menurut Champy, lingkungan yang mampu menghadapi tantangan masa depan adalah Pertama, lingkungan yang merangsang pemikiran majemuk yang peka terhadap keinginan konsumen. Kedua, untuk memenuhi selera pasar “konsumen”, diperlukan manusia-manusia yang menguasai ilmu dan keterampilan tertentu serta menjalankan instruksi pimpinan dengan penuh tanggung jawab. Ketiga, masyarakat masa depan merupakan masyarakat “meritokrasi”, yaitu masyarakat yang menghormati prestasi daripada statusnya dalam organisasi. Keempat, lingkungan yang menghormati seseorang yang dapat menuntaskan pekerjaannya dan bukan berdasarkan kedudukannya di dalam organisasi. Inilah transformasi perusahaan yang menggambarkan pula transformasi kebudayaan manusia.

Nilai-nilai positif dari globalisasi (kesejagatan) mempunyai dimensi-dimensi baru yang tidak dikenal sebelumnya seperti kriminalitas internasional, pembajakan dan terorisme internasional, penyakit baru yang dengan cepat menyebar ke seantero dunia. Transformasi ini berjalan dengan menghadapi tantangan sebagaimana dikatakan oleh John Naisbitt, globalisasi mengandung berbagai paradoks.
Menurut Kartasasmita (1996) transformasi global ditentukan oleh dua kekuatan besar yang saling menunjang, yaitu perdagangan dan teknologi. Perdagangan akan berkembang begitu cepat dan mengubah pola-pola kehidupan manusia. Pola-pola kehidupan itu ditanggung oleh kemajuan teknologi yang telah mengubah bentuk-bentuk hubungan antarmanusia dengan lebih cepat, lebih intensif, dan lebih beragam. Transformasi bukan berjalan tanpa tantangan. John Naisbitt mengatakan globalisasi mengandung berbagai paradoks, di antaranya berikut ini.
1. Budaya global vs Budaya lokal
2. Universal vs Individual
3. Tradisional vs Modern
4. Jangka Panjang vs Jangka Pendek
5. Kompetisi vs Kesamaan kesempatan
6. Keterbatasan akal manusia vs Ledakan IPTEK
7. Spiritual vs Material

Akibat hubungan bisnis (perdagangan) yang telah menyatukan kehidupan manusia maka timbul kesadaran yang lebih intern terhadap hak-hak dan kewajiban asasi manusia. Sejalan dengan itu, kehidupan demokrasi semakin marak dan manusia ingin menjauhkan diri dari berbagai bentuk penindasan, kesengsaraan, diktator dan perang. Oleh karena itu, liberalisasi dalam bidang ekonomi ini menuntut liberalisasi dalam bidang politik, di mana keduanya harus berjalan seiring dan saling menunjang. Buah pikiran Kenechi Ohmae dalam “Dunia tanpa batas” dimaksudkan dalam bidang bisnis komunikasi dan informasi memang akan menebus batas-batas nation, tetapi tidak dengan sendirinya menghilangkan identitas suatu bangsa. Kontak budaya tidak terelakkan akibat komunikasi yang semakin lancar. Terjadilah relativisasi nilai budaya dan memungkinkan munculnya sinkretisme budaya yang sifatnya transnasional.

Sebagai bangsa Indonesia, dengan berpijak pada budaya Pancasila, untuk menghadapi kekuatan global tersebut, perlu mengetahui kekuatan dan kelemahan yang kita miliki dalam segenap aspek kehidupan (Astagatra). Kekuatan yang kita miliki dalam Astagatra (geografi, sumber kekayaan alam, demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan Hankam) yang harus dipertahankan, ditingkatkan dan dikembangkan, sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada hendaknya dapat diatasi dan diubah menjadi kekuatan untuk meningkatkan tannas di dalam menghadapi era globalisasi. Kunci dalam meningkatkan tannas Indonesia adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang menuju kepenguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang dilandasi oleh iman dan takwa (imtaq). Dalam pembangunan nasional yang kita lakukan untuk meningkatkan tannas dilandasi oleh Wasantara. Penerapan pendekatan tannas dalam pembangunan nasional, berarti kita melihat kekuatan dan kelemahan bangsa Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan (Astagatra) secara komprehensif integral, membangun secara bersinergi aspek kehidupan bangsa tersebut. Oleh karena itu, dalam pembangunan nasional untuk mencapai tingkat tannas yang kita harapkan di dalam era globalisasi ini diperlukan pengaturan-pengaturan dalam aspek Trigatra dan pancagatra.
Dalam aspek Trigatra diperlukan pengaturan ruang wilayah nasional yang serasi antara kepentingan kesejahteraan dan kepentingan keamanan, pembinaan kependudukan, pengelolaan sumber kekayaan alam dengan memperhatikan asas manfaat, daya saing dan kelestarian. Dalam aspek pancagatra diperlukan pemahaman penghayatan dan pengamalan Pancasila di dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Penghayatan budaya politik Pancasila, mewujudkan perekonomian yang efisien, pemerataan dan pertumbuhan yang tinggi untuk mencapai kesejahteraan yang meningkat bagi seluruh rakyat, memantapkan identitas nasional Bhinneka Tunggal Ika, dan memantapkan kesadaran bela negara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Polstranas, Politik Strategi Nasional

Mei 14, 2017 Add Comment

Politik nasional adalah asas, haluan dan kebijaksanaan negara tentang pembinaan serta penggunaan potensi nasional dalam bangnas untuk mencapai tujuan nasional. Politik nasional mencakup politik dalam negeri, politik ekonomi, politik pertahanan dan keamanan. Faktor yang mempengaruhi politik nasional ialah ideologi, ekonomi, sosial budaya dan Hankam.
Stranas adalah “tata cara” untuk melaksanakan politik/kebijaksanaan nasional untuk mencapai sasaran dan tujuan nasional. Kebijaksanaan nasional (National Policies) yaitu rencana alokasi sumber kemampuan bangsa, dari rincian langkah-langkah dan tahapan waktu yang diperlukan untuk mencapai sasaran nasional. Sasaran nasional (National Objectives) yaitu kondisi nyata yang hendak dicapai dengan melibatkan usaha dan sumber kemampuan yang tersedia yang telah ditetapkan melalui kebijaksanaan nasional. Sasaran nasional ini kemudian diwujudkan melalui sejumlah kegiatan nasional (National Commitment). Landasan politik dan strategi nasional ialah Tannas, Wasantara, UUD 1945, dan Pancasila. Sistem perencanaan strategik adalah perangkat untuk mengendalikan seluruh tingkat perencanaan dalam upaya mencapai sasaran nasional. Untuk itu, diperlukan perencanaan strategik guna menghadapi masa depan yang merupakan alternatif strategi terbaik dalam menghadapi ATHG yang mungkin timbul demi membangun kemampuan dan ketangguhan. Polstranas pada hakikatnya adalah kebijaksanaan nasional dalam menentukan cita-cita, tujuan, sasaran, program, dan cara-cara mencapainya.

Wujud Polstranas dalam negara kesatuan Republik Indonesia adalah GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Untuk melaksanakan GBHN tersebut MPR menugaskan kepada Presiden/Mandataris MPR. Selain melaksanakan GBHN, MPR menugaskan kepada Presiden/Mandataris MPR menyusun dan menetapkan Repelita. Presiden menetapkan arahan landasan kerja, tugas pokok, dan sasaran untuk melaksanakan GBHN. Lembaga pemerintah departemental dan non-departemental sesuai dengan arahan Presiden menyusun rencana strategik sesuai dengan bidang pembangunan sebagai bahan Repelita untuk kemudian dijabarkan dalam pelaksanaan pembangunan tahunan (APBN).Untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional tersebut maka dilakukan bangnas secara berkelanjutan (era pembangunan nasional). Bangnas yang berkelanjutan tersebut dibuat secara berjenjang yaitu jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Ketiga kategori penjenjangan pembangunan ini berkaitan satu sama lain, di mana pembangunan jangka pendek (tahunan dalam bentuk RAPBN) merupakan implementasi bangnas untuk mencapai arah, sasaran, dan kebijaksanaan pembangunan yang tertuang dalam jangka menengah (Repelita). Demikian pula halnya, Repelita untuk mencapai arah, sasaran dan kebijaksanaan pembangunan pada periode (babakan) pembangunan jangka panjang (PJPT).


Demokrasi dan HAM (Hak Asasi Manusia)

Mei 11, 2017 Add Comment

Istilah demokrasi sudah merupakan kata yang merakyat dan membumi, sehinga cakupannya menjadi luas dan digunakan bukan saja menunjuk pada politik praktis melainkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Misalnya Demokrasi Ekonomi, Demokrasi Sosial. Pada awalnya, istilah demokrasi ini merupakan kata yang berasal dari Latin yaitu, “demos” dan “cratein atau cratos” ; dimana demos berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein berarti kekuasaan atau kedaulatan. Intinya rakyat yang berkuasa, atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sejarah perkembangan demokrasi dimulai dari zaman Yunani Romawi kuno (500 SM – 476 M), kemudian zaman abad pertengahan dari (476 M - 1500 M) dan zaman modern (1500 M – sekarang) dimana tiap masa memiliki rumusan demokrasi yang kontekstual, sesuai situasi kondisi yang ada pada zamannya masing-masing. Pada zaman modern istilah demokrasi dirumuskan oleh Abraham Lincoln, dimana konsep demokrasi didorong oleh menyebarnya paham kebebasan di Amerika Serikat yang mempengaruhi Revolusi Perancis dan dirumuskan sebagai Egalite (Persamaan), Fraternite (Persaudaraan) dan Liberte (Kemerdekaan). Kemudian dari belahan dunia timur, Dr. Sun Yat Sen mengenalkan istilah Demokrasi dengan istilah Min Chuan.
Perkembangan demokrasi pada abad XIX lebih menekankan pada bidang hukum karena dominan pengaruh hak-hak individu. Negara dan pemerintah tidak banyak turut campur dalam urusan warganya, kecuali berkaitan dengan kepentingan umum. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang sedikit memerintah. Negara seperti penjaga malam. Konsep laisses faire laisses aller berpeluang mandiri, tetapi juga berpeluang menuju penindasan atas sesama. Wajah baru demokrasi    abad XX berangkat dari pengalaman abad XIX tersebut. Negara dan pemerintah berperan luas. Penjaga malam tidak hanya bertugas secara pasif tetapi berperan aktif dalam mengatur kehidupan dan bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat.
Adapun karakteristik demokrasi universal, antara lain : (1) kehidupan masyarakat dimana warganegaranya berperan serta dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih; (2) pemerintahan yang menjamin kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan ; (3) pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; (4) masyarakat yang saling memberi perlakuan yang sama kepada seluruh warganegaranya. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa fokus wacana demokrasi adalah rakyat. Oleh Pabottinggi (2002), menegaskan bahwa demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berparadigma otocentricity dan demokrasi sebagai pelembagaan dari kebebasan. Artinya, rakyat yang menjadi kriteria dasar demokrasi.
Praktik demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah lama dilaksanakan. Praktik musyawarah mufakat merupakan bagian integral dari demokrasi. Sejak kemerdekaan Indonesia 1945 sampai tahun 1959 Indonesia melaksanakan demokrasi parlementer dalam pemerintahan, kemudian 1965, dan sejak-melaksanakan demokrasi terpimpin dalam kurun waktu 1959 runtuhnya rezim orde lama digantikan dengan orde baru melaksanakan demokrasi Pancasila sampai sekarang. Gejala dalam demokrasi parlementer pemerintahan tidak stabil karena kuatnya peranan partai politik dan pembangunan terhambat. Dalam demokrasi terpimpin kuatnya peranan presiden sebagai pusat kekuasaan dan melemahnya kekuatan partai politik. Begitu pula dalam demokrasi Pancasila di zaman orde baru dominasi eksekutif masih tetap kuat ,parlemen seolah olah merupakan subordinasi dari eksekutif. Perbaikan terus dilakukan sejalan dengan pergantian orde baru dengan orde reformasi. UU Dasar diamandemen, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, begitu juga presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Adapun CICED (1998) sebagai Center for Indonesia Civic Education, menjabarkan demokrasi sebagai dimensi yang multidimensional, yaitu (a) secara filosofis, demokrasi sebagai ide, norma, dan prinsip; (b) secara sosiologis sebagai sistem sosial, dan (c) secara psikologis sebagai wawasan prilaku individu dalam bermasyarakat. Sebab, CICED merumuskan demokrasi sebagai kerangka berpikir dalam melakukan pengaturan urusan umum atas dasar prinsip : dari, oleh dan untuk rakyat, yang diterima sebagai ide, norma, dan sistem sosial maupun sebagai wawasan, prilaku dan sikap individul yang secara kontekstual diwujudkan, dikembangkan dan dipelihara.
Pilar universal demokrasi sebagai suatu sistem sosial kenegaraan terdiri dari 11 pilar (USIS:1995). Antara lain, (1) kedaulatan rakyat; (2) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (3) kekuasaan mayoritas; (4) hak-hak minoritas; (5) jaminan hak-hak asasi manusia; (6) pemilihan yang bebas dan jujur; (7) persamaan di depan hukum; (8) proses hukum yang wajar; (9) pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (10) pluralisme sosial, ekonomi, politik dan nilai-nilai toleransi, pragmatisme; (11) kerjasama dan mufakat. Sedangkan menurut Sanusi (1998;4-12), demokrasi konstitusional menurut UUD’45 memiliki 10 pilar, yaitu (1) demokrasi yang berKetuhanan YME; (2) demokrasi dengan kecerdasan; (3) demokrasi dengan rule of law; (4) demokrasi dengan pembagian kekuasaaan; (5) demokrasi hak asasi manusia; (6) demokrasipengadilan yang merdeka; (7) demokrasi dengan otonomi daerah; (8) demokrasidengan kemakmuran; (9) demokrasi yang berkeadilan sosial.
Sehingga yang membedakan pilar demokrasi universal dengan demokrasi Indonesia adalah pilar demokrasi yang berKetuhanan YME. Ciri demokrasi Indonesia yang khas tersebut, menurut Elposito dan Voll telah dinyatakan oleh Maududi dan kaum muslim sebagai teodemokrasi, yang berarti demikrasi Indonesia bernuansa KeTuhanan YME, sedangkan demokrasi universal bernuansa sekuler. Demokrasi dapat juga dikaji dari 3 tradisi pemikiran politik. Menurut Torres, 3 tradisi pemikiran politik itu, antara lain : (a) Classical Aristotelian Theory; (b) Medieval Theory; (3) Contemporaray Doctrine. Berdasarkan Classical Aristotelian Theory, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan seluruh warganegara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Adapun Medieval Theory menekankan penerapan Roman Law dan popular sovereignity, sehingga demokrasi diartikan sebagai suatu landasan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Lain lagi dengan Contemporary Doctrine yang menekankan konsep Republican maka demokrasi disini diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang murni.
Lebih jelas lagi, Torres memandang demokrasi dari 2 aspek, yakni sebagai formal democracy dan substantive democracy. Dari aspek formal democracy yang dilihat adalah demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan. Kemudian dari aspek substantive democracy yang dilihat adalah proses demokrasi, yang diklasifikasikan dalam empat bentuk demokrasi. Antara lain : (1) protective democracy menitik beratkan kepada kekuasaan ekonomi pasar, sehingga proses pemilu dilakukan reguler untuk memajukan kegiatan pasar dan melindunginya dari tirani negara; (2) developmental democracy memandang manusia sebagai makhluk yang dapat mengembangkan kemampuan dan kekuasaan dirinya, serta menempatkan partisipasi demokratis sebagai jalur utama bagi pengembangan diri; (3) equilibrium democracy atau pluralist democracy menekankan penyeimbangan nilai partisipasi daan pentingnya apatisme, sebab apatisme di kalangan mayoritas warganegara menjadi fungsional bagi demokrasi. Partisipasi yang intensif dipandang tidak efisien bagi individu yang rasional ; (4) participatory democracy menekankan bahwa perubahan sosial dan partisipasi demokratis perlu dikembangkan secara bersamaan karena satu sama lain saling memiliki ketergantungan.
Oleh sebab itu perlu diadakan pendidikan tentang demokrasi dengan wahananya yaitu pendidikan kewarganegaraan, sebab ethos demokrasi bukan suatu warisan tetapi sebagai suatu konsep yang harus dipelajari dan dialami atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya proses demokrasi tidak hanya merupakan suatu proses yang berkembang pesat di negara-negara barat yang mayoritas penduduknya beragama kristen seperti yang telah dipersepsikan oleh Huntington (1991). Tetapi sesungguhnya proses demokratisasi melanda hampir seluruh negara di dunia termasuk di negara-negara muslim seperti yang dikemukakan oleh Esposito dan Voll (1996) dengan studi komparatif demokrasi di Iran, Sudan, Pakistan, Malaysia, Aljazair dan Mesir. Menurut Esposito dan Voll (1996 : 11) kebangkitan Islam dan demokratisasi di dunia muslim berlangsung dalam kontek global dinamis dan kedua proses tersebut saling mengisi. Demokratisasi di dunia muslim menekankan (1) hanya satu kedaulatan yakni Tuhan, (2) khilafah sebagai bentuk kepemimpinan politik masyarakat, (3) syura sebagai tradisi musyawarah, (4) ij’ma sebagai bentuk persetujuan dan (5) ijtihad sebagai bentuk penafsiran mandiri. Sehingga proses demokrasi tidak selalu dapat diukur dari kriteria demokrasi barat tetapi dilihat secara kontektual menurut perkembangan situasi sosial kultural setempat.
Menurut Deutsh dan Lipset (1950s dalam Denny, 1999 : 1-2) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan demokrasi adalah tingkat perkembangan ekonomi suatu negara ; terbukanya media massa urbanisasi, pendidikan dan persatuan kesatuan bangsa-bangsa ; serta pengalaman sejarah dan budaya kewarganegaraan. Ketiga faktor tersebut menjadi parameter perkembangan demokrasi suatu negara, hal ini dikemukakan oleh Bahmuller (1996 : 222 – 223). Konsep masyarakat madani di Indonesia yang diterjemahkan dari istilah Civil Society berhubungan erat dengan proses demokratisasi sehubungan dengan perluasan fungsi dan optimalisasi peran aktif dari warga negara secara cerdas dan baik untuk membangun masyarakat yang benar-benar demokratis sesuai konteks negaranya. Menurut Hikam, ciri utama masyarakat madani adalah kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian tinggi terhadap negara, keterkaitan terhadap nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Secara kualitatif masyarakat madani Indonesia ditandai oleh (a) ketaqwaan kepada Tuhan YME, (b) adanya jaminan hak azasi manusia, (c) adanya partisipasi luas warga negara dalam pengambilan keputusan publik dalam berbagai tingkatan, (d) adanya penegakan rule of law dan (e) adanya pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan demokrasi dapat dilakukan dalam pendidikan formal, informal dan non formal, sesuai visi pendidikan demokrasi yaitu learning democracy, through democracy, and for democracy atau secara jelas dijabarkan sebagai wahana substantif, pedagogis dan sosio kultural untuk membangun cita-cita, nilai, konsep, prinsip, sikap dan ketrampilan demokrasi bagi warganegara melalui pengalaman hidup berdemokrasi. Misi pendidikan demokrasi adalah : (1) memfasilitasi warganegara untuk mendapatkan berbagai akses dan memakai secara cerdas berbagai sumber informasi; (2) memfasilitasi warganegara melakukan kajian konseptual dan operasional secara cermat dan bertanggungjawab terhadap berbagai cita-cita, instrumentasi dan praksis demokrasi untuk mendapatkan keyakinan dalam pengambilan keputusan individual ataupun kelompok. Praksis politik diartikan sebagai perwujudan konsep, prinsip dan nilai demokrasi yang melibatkan individu dan masyarakat dengan keseluruhan aspek lingkungannya; (3) memfasilitasi warganegara untuk memperoleh kesempatan berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab dalam praksis kehidupan demokrasi di lingkungannya. Untuk itu strategi dasar pendidikan demokrasi adalah pemanfaatan multimedia dan sumber belajar, kajian interdisipliner, pemecahan masalah sosial, penelitian sosial, aksi sosial, pembelajaran berbasis portfolio, pembelajaran yang kukuh atau powerful learning (meaningful, integrative, value-based, challenging and active). Model pendidikan demokrasi berbasis portfolio versi Dewey diartikan sebagai model pembelajaran yang menggunakan tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis yang melukiskan proses berpikir yang didukung sejumlah data yang relevan, yang melukiskan secara utuh pengalaman belajar demokrasi terpadu yang dialami siswa dalam kelas sebagai suatu kesatuan. Di dalam model ini, ada simulasi public hearing kemudian dilanjutkan kegiatan refleksi bagi individu dan keseluruhan siswa untuk merenungkan dampak perjalanan panjang proses belajar demokrasi bagi perkembangan pribadi siswa sebagai warganegara. Adapun untuk perguruan tinggi, menurut Udin S. Winataputra ( 2002: 35) model pendidikan demokrasi dikembangkan sesuai paradigma pendekatan perluasan lingkungan dan meningkatkan tingkat kompetensi mahasiswa ke higher-order intellectual abilities.. Demikian pengayaan tentang demokrasi.
Pada dewasa ini, krisis kepemimpinan menjadi salah satu penyebab kemerosotan pembangunan dan kehidupan sosial politik bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Sedemikian besarnya krisis kepercayaan terhadap pemimpin, telah menyebabkan pergeseran persepsi masyarakat tentang figur ideal pemimpin bangsanya, contohnya di Amerika Serikat yang dulu sangat mengidolakan presiden dari kaum kulit putih, kini mulai melirik dari ras kulit berwarna yang ditandai dengan majunya Obama sebagai capres. Masyarakat sudah mulai bosan dengan dinamika politik yang mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Demikian pula bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang kini mulai melirik capres atau cabup, cagub dari kalangan bukan elit politik yang dianggap rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan ingkar janji. Lebih-lebih dengan banykanya kasus KKN yang terkuak pada lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPR, Kejaksaan Agung, Departemen Kehakiman dan lainnya.
Tawuran antarmahasiswa sebagai kaum intelektual muda Indonesia juga merefleksikan kurangnya keteladanan figur pemimpin dalam keluarga, masyarakat, bangsa and negara. Perhatikan berita di media massa yang memperlihatkan lemahnya control sosial bahkan di kampus sekalipun, sehingga tawuran antarmahasiswa sering terjadi yangn dibarengi dengan tindakan melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum, contohnya adanya pemakian narkoba dari jenis ganja sampai sabu, kepemilikan senjata tajam illegal baik dari senjata rakitan sampai yang pabrikan. Sungguh ironis, terjadi dalam negara yang dulu merdeka karena luapan motivasi untuk merdeka dalam diri rakyatnya yang didorong oleh semangat juang pemuda sebagai trigger nilai juang yang pantang menyerah melakukan perubahan ke arah kebaikan; sekarang dikotori oleh pikiran divide et impera akibat perbedaan kelompok dan kepentingan. Padahal jika perbedaan kelompok dan kepentingan dijadikan kekayaan mental, pemikiran dan kolaborasi kepentingan yang saling menguatkan and melayani, kehidupan bermasyarakat, berbangsa and bernegara akan berlangsung indah dan harmoni.